Ketahuilah, Sejak Lama Aku Mengagumimu

Sudah hampir dua tahun menjadi warga kampus perjuangan, sudah hampir selama itu pula aku mengagumimu. Melihatmu dari jauh, terlalu terpesona aku. Semakin lama aku melihatmu, semakin banyak lah pertanyaan yang muncul dalam benakku, semakin aku tidak mengerti pula kenapa Tuhan menghadirkan sosok sepertimu. Terdengar picisan memang. Tapi aku betul-betul tidak bisa membendung derai air mata saat menulis ini. Tangan yang lemah dan bergetar ini pun seketika menjadi kuat ketika menyentuh keyboard. Tak tahan ingin kuluapkan dalam tulisan, karena aku tidak akan sanggup jika harus mengungkapkannya pada orang lain.

Sepertinya warna merah adalah warna favoritmu. Tidak pernah aku melihatmu mengenakan pakaian selain warna merah itu. Tas cantikmu yang besar menjadi aksesori lengkapmu setiap harinya. Entah kenapa, semakin siang, isi tasmu semakin penuh saja, membuatku semakin terpesona. Setiap kali aku tanyakan pada orang-orang sekitar tentang kamu, mereka hanya bilang, “oh dia, sudah biasa.” Sedangkan aku hampir tidak bisa mengerti semua orang, kenapa mereka hanya menanggapi sosokmu sesederhana itu. Padahal aku diam-diam terbelalak melihatmu.

Selama tiga semester, kita tidak pernah bicara. Setiap kali aku melihatmu, setiap itu pula aku sedang terburu-buru. Sayang sekali. Sesekali aku ingin menyapa, tapi aku selalu bingung bagaimana. Tak ayal, hanya senyum yang bisa aku beri padamu selama kurun waktu sekian semester itu.

Meski begitu, kamu mengajariku banyak hal. BANYAK SEKALI.

Kamu mengajariku untuk berani melangkah dengan pasti. Tidak peduli paku, tidak peduli pecahan kaca, dengan mantap kamu melangkah. Anehnya, tidak pernah aku menemuimu mengenakan alas tubuh. Semestinya di usia yang sedewasa itu, kamu sudah belajar banyak pelajaran hidup. Apakah kamu tidak pernah dihinggapi paku? Entahlah. Ini hal pertama yang membuatku kagum, betapa kamu melangkah dengan pasti, tanpa ragu, tanpa cemas.

Lebih lagi, kamu mengajariku percaya diri. Tidak pernah kudapati kamu menundukkan kepala, sama sekali selain jika kamu mencari sesuatu yang biasa mengisi penuh tasmu. Ketika berjalan, dagumu mantap naik, tatapanmu mantap kedepan. Tak jarang, dengan penuh percaya diri kamu menyapa para priyayi yang lalu lalang di keseharianmu.

Sampai suatu hari Tuhan mengizinkanku untuk menyapamu lebih, lebih dekat. Berjalan santai di kampus, dari jauh, kamu yang aku kagumi terlihat sedang membungkukkan badan mencoba untuk meraih sesuatu. Jalanku pun terhenti. Aku kembali berjalan dengan tempo yang semakin lamban, seiring dengan otakku yang berusaha mencari cara untuk menyapamu. Berjalan lebih dekat, kala itu kamu justru meloncat-loncat berusaha meraih sesuatu di pohon yang lumayan tinggi. Syukurlah, karena tindakanmu itu, aku berani menghampirimu. Sayang sekali, percakapan pertama kita sepertinya tidak berlangsung baik.

Ketika kusapa kamu, kamu seperti kebingungan membalas apa. Ketika kamu bicara, aku yang kebingungan memahami maksudmu. Bahasa Jawa ku yang terbatas dan Bahasa Indonesia mu yang terbatas mau tidak mau membuat kita sama-sama harus main tebak-tebakkan. Tanpa banyak kata, kuambilkan dahan pohon itu, aku tarik mendekatimu. Ah, rupanya kamu mau mengambil bunga! Begitu saja aku ikut memetikkannya untuk mu. Ternyata kantongmu sudah penuh dengan bunga. Kutanya untuk apa, sayang aku tidak mengerti jawabanmu.

Siang itu berlalu, aktivitasku berlanjut mengalir. Entah kenapa aku berpikir keras tentang makanan favoritmu. Seandainya aku ingin mengajakmu duduk bersama untuk makan siang dan tertawa kecil..

Kilasan momen kita siang itu membawaku pada terkaan-terkaan lain yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan tentangmu. Kenapa kamu bisa sekuat itu, sih? Kamu membuatku semakin kagum. Aku berharap kita bisa ketemu dan ngobrol lagi ya.

Akhirnya, suatu sore aku melihatmu lagi. Sayang, aku sedang harus mengurusi sesuatu. Usai urusanku selesai, aku melihatmu lagi. Yes! Kamu berjalan menyebrangi gedung jurusanku dengan dua bingkisan besar. Saat itu aku sedang menelpon abahku. Aku tutup telponku, sebelumnya kubilang pada abahku bahwa aku sedang terpesona melihat seseorang, abahku pun mengizinkanku untuk menutup telpon. Aku hampiri kamu, lagi-lagi percakapan kita semacam kurang smooth. Tak apa lah. Terpenting percakapan awal itu membuat kita bisa berjalan bersama sore itu.

Tapi kenapa kamu berjalan jauh didepanku? Padahal aku berharap kamu berjalan disampingku. Supaya aku bisa mendapatkan inspirasi lain. Karena diamnya kamu saja sudah mengajarkan dan menginspirasi banyak hal, apa lagi bicaramu, kupikir. Terlihat kamu mengusap pipi berkali-kali. Aku tanya tentang kemana kita akan pergi, kamu bungkam. Sesekali menjawab dengan kerongkongan yang berat tak seperti biasanya. Aku ikuti kemana kamu pergi dengan kerepotan membawa dua bingkisan besar. Lenganku sudah gemetar, tanganku sakit. Kekagumanku padamu menjadi berlipat-lipat sore itu. Apa lagi saat kita sudah mau sampai, track yang kamu lalui ternyata sebegitunya. Aku takut sungai, tapi kamu melewatinya setiap hari melalui jalan yang hanya cukup untuk satu kaki saja. Aku keringat dingin, aku tidak habis pikir dengan orang-orang yang menganggapmu biasa dan tidak mau menyapamu. Mataku sembab.

Aku pulang dalam diam, tertunduk, menikmati kampus yang libur, sunyi, sejuk sehabis hujan. Kakiku sudah kotor oleh lumpur. Tanganku sudah tidak sanggup kuangkat untuk sekadar membetulkan kerudungku. Kusimpan kedua tanganku di dalam saku jaketku dan membiarkannya terjatuh lemah.

Sesampainya di kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Tanpa bisa kuusap karena tanganku benar-benar lemah. Waktu maghrib tiba pun aku tidak langsung bergegas, karena mengangkat untuk mengucap takbir pun sudah gemetar dan jatuh begitu saja. Usai sholat, aku berusaha mendokumentasikan perasaanku ini dalam tulisan.

Dokumentasi ini menjadi penting, agar aku selalu ingat pelajaran yang telah banyak aku pelajari dari kamu. Untuk jangan manja, untuk bisa berdamai dengan kenyataan sepahit apapun itu. Untuk selalu tersenyum, untuk berani bertaruh di arena yang tidak bisa ditebak. Untuk jangan mengeluh, lakukan saja apa yang bisa dilakukan. Untuk jangan mengharap iba dari orang lain, berdiri pada kaki sendiri, berjuang di jalan kemandirian.

Untuk menjadi wanita yang mandiri.

Aku wanita, aku tahu perasaanmu. Tahu betul dan mengerti betul. Sekuat itukah benteng yang telah terbangun oleh pengalaman hidupmu, Nek? Aku senang bertemu dengan kamu. Ketahuilah, aku benar-benar mengangumimu. Sering kali Tuhan memperlihatkan aku sosokmu di kala lelah dan perasaan hampir menyerah menghampiriku. Aku mendapati energi misterius seketika setiap kali itu terjadi. Sering-seringlah kita bertemu, supaya aku selalu ingat bahwa tugasku sekarang adalah berjuang untuk menjadi sosok yang bisa memerdekakanmu, dan tetangga-tetanggamu. Kita saudara, kan? Terima kasih, ya. Terima kasih banyak.

4 thoughts on “Ketahuilah, Sejak Lama Aku Mengagumimu”

  1. hal hal apa saja yang harus dilakuka mba agar tulisan itu bisa bagus. mohon tipsnya mba 🙂

  2. , menyimak apa yang tidak di simak orang lain,.. mengalir begitu natural,
    sebuah karunia Tuhan.
    truslah menulis mba,

Leave a reply to toffany alfons Cancel reply