Pagi 31 Agustus 2011, aku membuka mata di kamar yang sebenarnya cukup asing untukku. Aku sadar betul bahwa pagi itu aku pantas berbahagia, karena telah melalui puasa satu bulan Ramadan. Keluarlah aku dari kamar segera menyambut hari kemenangan ini. Namun rasanya luar biasa asing! Membuatku bertanya-tanya, Apakah benar Ramadan telah berlalu? Sebab aku tidak menemukan tanda-tanda hari kemenangan itu! Sama sekali. Rasanya asing, tidak terdengar takbir, tidak ada ketupat, tidak tercium bau opor ayam, tidak ada lalu lalang orang rumah yang bersiap-siap untuk shalat ied, dan ya….. tidak kutemukan tanda-tanda kehadiran hari kemenangan itu. Kubuka jendela pagi, Kuhirup udara peralihan musim panas ke musim gugur, kutatap langit yang sama dari sisi barat bumi, terasa begitu sunyi ditengah penghuni rumah yang masih terlelap.
Sisi barat bumi, Eropa, Swiss, Zurich, Rikon. Baiklah, sebenarnya aku punya cukup alasan untuk merasa asing dengan status dan kondisi hari ini yang sama sekali tidak selaras. Kondisi hari ini sama sekali tidak mendeskripsikan hari Idulfitri. Jelas, aku di Eropa, aku di Swiss, dan aku satu-satunya muslim di rumah ini, di rumah keluarga Henne.
“Halo Swiss! Selamat Hari Raya Idulfitri!”
12 hari sudah aku di Swiss, melalui puasa di musim panas Eropa yang sama sekali bukan perihal mudah, tidak mudah karena matahari sangat betah menampakkan dirinya selama musim panas di Eropa, menjadikan puasaku setiap harinya berlangsung kurang lebih 17 jam. Bukan aku tanpa persiapan untuk hari Idulfitri di Swiss, toh sebenarnya aku berkeinginan sholat ied bersama warga Indonesia lainnya, di kota Bern, kota di Swiss yang paling banyak penduduk Muslimnya. Berkeinginan…. ya, kenyataannya di Rabu pagi itu aku tengah bersiap-siap menuju Klubschule Migros untuk mengikuti kursus intensif bahasa Jerman yang sudah menjadi program wajib bagi kita (pelajar AFS dari berbagai negara). Perjalanan kereta dari Rikon ke Bern sekitar 2.5 jam, Sholat dimulai pukul 07.00, kereta paling pagi dari kota kecil Rikon adalah pukul 06.00, galau kan? Ya sudah, sepertinya aku tahu persis bagaimana hariku ini akan berjalan.
Aku simpulkan, inilah pengalaman perayaan hari idulfitriku di negeri cokelat. Sambil menghela napas, aku siap menuliskannya di buku perjalananku. Tapi, sebentar! Waktu baru menunjukkan pukul 06.00 pagi, hariku belum berakhir. Aku berharap, semoga aku punya cerita dalam 18 jam sisa hari ini, untuk kutulis dalam buku perjalananku.
Sampailah aku di Klubschule Migros, waktu sudah menunjukkan pukul 08.15 dan tidak biasanya Frau Nold terlambat. Brigida Nold, seorang Argentina yang sudah 20 tahun di Swiss menjadi pengajar bahasa Jerman sekaligus guru besar filsafat di Universitas Zurich, seorang Katolik taat, merupakan guru yang sangat terbuka dan teman diskusi yang mengasyikkan. Masuklah Frau Nold tak lama setelah aku mempertanyakan kehadirannya. Ia datang dengan membawa baki yang penuh dengan cokelat dan kue, lantas kami semua bingung, “Selamat Pagi, semuanya! Maaf saya datang terlambat. Jadi semuanya, ada pemanis di pertemuan kali ini, cokelat dan kue! Untuk merayakan berakhirnya puasa Ramadan yang dijalani oleh Ilmi. Ramadan adalah salah satu bulan dalam kalender Islam, selanjutnya silahkan Ilmi bercerita……”. Kaget? Kaget? Kaget? KAGET. Siapa yang menyangka? Selama kurang lebih 10x pertemuan, Aku, Frau Nold dan Kita (AFS Exchange Students) sudah banyak sekali berdiskusi, dan ya…. mereka belum pernah melihatku makan siang, mengenai puasa… berulang kali kuceritakan mengapa dan berulang kali pula aku melihat ekspresi terkejut dari teman-temanku yang datang dari berbagai penjuru dunia itu, maklum aku satu-satunya muslim di antara kami. Di pertemuan itu, kuceritakan lagi dalam forum berbeda dan tentu dengan rasa berbeda pula. Kami makan cokelat, kami makan kue, kami berbincang, kami tertawa, dan kami tahu itu hari kemenangan umat Muslim. Di sela-sela senda gurau, Frau Nold menghampiriku dan bercerita sambil tertawa kecil, “Biasanya aku menyambut siswa baru ditempat kursus ini dengan cokelat dan kue, tetapi hari itu aku melihat seorang gadis Asia berkerudung yang kiranya di bulan Ramadan ini sedang berpuasa, maka aku tunda dulu rencanaku untuk makan kue bersama”.
Maka, apakah aku punya alasan untuk menahan haru di hari Idulfitri ini? Tidak, aku total terharu dengan semua keterasingan ini. Menghadiri sebuah negeri asing, dengan budaya yang begitu asing, suasana Idulfitripun menjadi terasa asing. Begitu juga untuk mereka teman-temanku, mendengar puasa dan mengenal Ramadan pun menjadi sesuatu yang asing. Betapa aku menikmati semua keterasingan ini….
Sehingga saat itu juga aku meyakini, itulah cerita utuhku pada hari Rabu 31 Agustus 2011, untuk aku tulis di dalam lembaran-lembaran buku perjalananku.
“Meet as a Stranger
Leave as a Friend”