Aku Ingin Menjadi Manusia Merdeka

Aku ingin mejadi manusia merdeka. Tapi hampir setiap tahun, definisi merdeka buatku berubah-ubah. Aku selalu menemukan kekangan baru, yang aku ingin lepas daripadanya lalu berteriak merdeka.

Hidup kian terbiasa dengan berbagai kekangan buatan manusia. Namun menjadi manusia yang berdaulat tak butuh pertimbangan kondisi penuh kekangan untuk hidup.

Kalau bersikap, dia damai. Manusia yang damai sebagaimanapun hebatnya intervensi dari luar. Seberapa keraspun tekanan hidup, stress mampu diabsorbnya. Tidak membenci, pula tidak mendendam ketika terdzalimi. Hatinya senantiasa damai. Sabar, baik dalam berlaku maupun berpikir.

Kalau bergerak, dia putih. Memiliki kontribusi dan dedikasi yang tidak berkepentingan. Setiap gerakannya adalah murni otoritas dirinya. Ketika berkelompok, adalah untuk menggabungkan mimpinya dalam bingkai yang lebih kuat. Untuk membela yang harus diperjuangkan. Bergerak untuk umat.

Kalau berbahagia, itu terserah dirinya. Karena manusia yang merdeka memiliki kebahagiaan yang tidak ditentukan oleh apapun selain dirinya sendiri. Menikmati keintiman hubungannya dengan Tuhan, alam, kebaikan, dan alunan kehidupan.

Dan bisa jadi, merdeka itu dekat dengan ikhlas. Karena ketika merdeka bicara kebebasan, ikhlas adalah tentang membebaskan. Membebaskan segala yang bisa merusak kedamaian jiwanya.

Aku ingin menjadi manusia merdeka.

Dalam perjalanan Rangkasbitung menuju Bandung
20 Agustus 2016

Tidak Terlihat

“Menulislah, jika tak menulis maka engkau akan dilupakan sejarah.” – Pram

Aku mulai berpikir tak apalah dilupakan sejarah, tak pernah tercatat pun tak apa. Kenapa pula sebuah nama harus direkam sejarah? Rasanya dunia ini terlalu palsu dan sebentar. Menulis ya menulis lah. Biar nilai-nilainya saja yang dicatat oleh sejarah, tak bernama tak apa.

Aku mulai menilai, sepertinya manusia yang paling bahagia adalah yang tidak terlihat, tidak mengundang banyak mulut menyebut namanya, tidak mengundang banyak telunjuk mengarah padanya, namun dampaknya nyata dan positif dirasakan banyak orang.

Dikenal dan diketahui secukupnya. Cukup sejumlah beberapa barisan sholat ketika disholatkan.

 

24 Juli 2016

Batu Hijau, Sumbawa-NTB

The Unspoken Words

picsautumphotographyautumnleavessun-6b554abc226a64d19520c780a3f2da9d_h

The words that only live in your mind. Never be spoken. Although it might be important for some persons. But you choose to not deliver them due to some reasons. The reasons could be personally hard for you, hard in a unexplainable way. You simply letting people judge, letting people guess, letting people speculate, letting people hurt, letting people go. Only to set a certain condition, that can only be happened through events, that was unsuccessful through another way you tried, that you think it’s the best thing you can do, the best condition in your view. But you have those unspoken words, that are better left unsaid. That only live in your mind.

 

Batu Hijau, Sumbawa-NTB

28th of June 2016

Picture source: here

Setahun Hidup di Eropa, Nusantara Tetap Jadi Primadona

Terkadang rasa syukur atas kenikmatan hidup di Nusantara baru disadari jika sudah mengalami kehidupan di wilayah lain yang tidak lebih baik dari kehidupan di Nusantara. Hal inilah yang terjadi pada saya. Harus melihat Nusantara dari luar dan negeri lain dari dalam terlebih dahulu untuk akhirnya bisa benar-benar mensyukuri nikmat yang berlimpah di tanah air ini.

Remaja mana yang tidak bahagia dan bangga ketika mendapat kesempatan untuk mengikuti program pertukaran pelajar ke Eropa. Kala itu usia saya baru berjalan 16 tahun, namun tidak merasa khawatir sama sekali ketika hendak meninggalkan tanah air untuk hidup di Swiss bersama sebuah keluarga non-Muslim dan hidup selama satu tahun disana.

Sebagai siswi madrasah, transformasi lingkungan dan gegar budaya yang saya hadapi ketika sampai di Eropa cukup besar. Saya tidak pernah berpikir tantangan umat Muslim di negara minoritas Muslim ini menjadi lebih dari yang saya bayangkan. Jika tantangannya hanya soal menjaga diri dari pola pergaulan bebas, hal tersebut menjadi persoalan benteng diri, namun ternyata lebih dari itu.

Teknis Beragama Sudah Pasti Menjadi Soal
Teknis beragama yang menjadi soal dalam hal ini meliputi sholat, puasa, hingga makanan halal. Jika waktu sholat di Indonesia mulai dari subuh hingga ashar terbagi secara tepat antara berkegiatan dan jeda istirahat, tidak dengan di Swiss. Setiap musim berbeda mempengaruhi waktu sholat yang berbeda pula, tak jarang perbedaan waktu ini sedikit menyulitkan dalam pelaksanaannya. Sebab, masjid sangat sulit ditemukan, musholla hampir tidak mungkin, dan waktu kegiatan sekolah maupun lainnya tidak mentoleransi alasan izin untuk beribadah.

Tak jarang saya harus melaksanakan ibadah sholat ini di perpustakaan sekolah, bahkan di perjalanan kereta sambil duduk. Pula tidak ada adzan, waktu sholat yang senantiasa bergeser pun hanya ditandai oleh notifikasi email dari website pemberitahu jadwal sholat. Ini adalah hal paling pertama yang saya syukuri betapa tanah air Nusantara adalah hamparan rumah bagi umat Muslim. Anugerah dari Allah yang menjadikan Nusantara berada di garis khatulistiwa, sehingga tidak menawarkan banyak musim, dan fluktuasi pergeseran waktu sholat menjadi tidak terlalu kentara. Dimana subuh tetap di waktu bersiap mengawali hari, dzuhur di saat jeda istirahat kegiatan, ashar di momen memasuki perjalanan pulang berkegiatan, dan maghrib serta isya dalam posisi rileks (www.nu.or.id). Terus demikian sepanjang tahun.

Ketika terjadi pergeseran waktu sholat, tentu diiringi juga dengan pergeseran waktu dimulai dan berakhirnya puasa (muslimmedianews.com). Terasa begitu menyiksa ketika kedatangan saya pertama kalinya di Swiss bertepatan dengan bulan Ramadhan yang berlangsung di musim panas. Alhasil, puasa dimulai sangat dini namun berakhir sangat larut hingga jika diakumulasikan, total durasi satu hari puasa bisa mencapai 17 jam. Tidak berhenti sampai disitu, momen Idulfitri pun harus rela saya lewatkan karena alasan profesionalitas mengikuti kegiatan wajib dari program yang mensponsori saya. Menjadi hal yang tidak lazim untuk meninggalkan kegiatan yang sudah terjadwal untuk hal-hal keagamaan, termasuk hari raya. Lagi-lagi, betapa saya merindukan nuansa Ramadhan di Nusantara yang penuh dengan toleransi beragama.

Hal yang paling menyiksa adalah persoalan makanan. Soal halal dan haram. Memang, Al-Qur’an secara langsung telah menerangkan makanan halal dan haram. Dalam bayangan saya, mengamalkan hal tersebut tidak akan menjadi hal yang sulit, cukup dengan menghindari daging hewan-hewan yang disebutkan Al-Qur’an sebagai daging yang haram. Namun rupanya praktik di kehidupan nyata di Swiss tidak sesederhana itu. Secara terang-terangan, berbagai daging olahan ayam dan sapi sudah dicampuri daging babi. Tak hanya itu, terdapat banyak unsur haram di berbagai makanan lainnya seperti roti tawar, permen, jelly, ice cream, coklat, bahkan minuman kaleng yang bisa dengan mudah diketahui dari kode tertentu pada komposisi yang tertera di kemasan. Disini saya menyadari betapa bahagianya penduduk Nusantara, tidak perlu khawatir dengan perihal haram-halal karena produk yang beredar mampu termonitor kehalalannya.

Gesekan Sosial dan Budaya Sangat Tinggi
Jika dalam Islam, berdakwah atau menyeru kebaikan pada sesama Muslim adalah wajib, maka dalam kehidupan di Eropa terasa justru mengganggu. Idealisme yang berlaku di peradaban Eropa yang cenderung liberal menjadikan urusan dakwah adalah hal yang tidak perlu bahkan aneh. Sebab agama menjadi hal yang sangat pribadi, antara individu dan Tuhannya saja. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep Islam yang mengusung tinggi kejamaahan, karena agama hadir sebagai nasihat. Perlahan situasi ini justru membahayakan bagi Muslim, sangat mungkin terpengaruh nilai-nilai kehidupannya dengan situasi liberalisme yang begitu kental. Sehingga adapun bentuk toleransi yang hadir ditengah masyarakat Swiss dalam beragama, adalah lahir dari liberalisasi kehidupan sehari-hari, cenderung bentuk keacuhan untuk tidak mengintervensi selama kepentingan dalam berkegiatan inti tidak terganggu. Damai, namun sering menjadi masalah tersendiri bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah-ibadahnya.

Secara pribadi, saya pun sempat mengalami kesulitan dalam berkerudung disana. Memang saat itu belum istiqomah, tak ayal kerudung pun sempat saya lepas. Namun saat menjalani hari-hari disana ketika mulai berkerudung, saya pernah diteriaki “Afganistan! di Swiss tidak boleh ada yang seperti itu,” oleh seseorang sambil lalu. Pun pernah dilempari patahan kayu oleh anak kisaran seusia 13 tahun. Bahkan dikomentari secara personal oleh teman sekelas bahwa apa yang saya lakukan itu konyol, hanya menonjolkan identitas agama yang dianggap tidak penting.

Lain cerita ketika pulang kembali ke tanah air. Dengan kemampuan Bahasa Jerman yang saya miliki sekembalinya saya dari Swiss, seorang rekan ayah membutuhkan kemampuan saya untuk mendampingi tamu dari Jerman. Ketika sampai di lokasi, rupanya tamu tersebut adalah pendeta dari Jerman. Wajahnya tampak kaget melihat gadis berkerudung turut hadir dalam sebuah rapat internal para pendeta Indonesia barat di Bandung kala itu. Namun dengan keterbukaan saya, pula keterbukaan pendeta-pendeta di Indonesia, tugas saya sebagai interpreter Bahasa Jerman yang beragama Islam justru membuat diskusi berjalan lancar. Padahal topik yang dibahas adalah gejolak sosial di Indonesia perihal pembangunan gereja di beberapa lokasi.

Melihat kesemua kondisi ini, Nusantara seperti surga. Benar-benar seperti surga, sangat berpotensi menjadi mercusuar dunia yang relijius. Dengan persentase penduduk Muslim yang mencapai angka 88% dari total penduduk Indonesia, kebutuhan mendasar umat Islam dapat terpenuhi tanpa menimbulkan masalah dan kaum minoritas pun tidak kesulitan hidupnya. Jika di Swiss terdapat larangan membangun kubah masjid, Indonesia justru menjadi negara dengan jumlah masjid terbanyak yaitu hampir 900 ribu masjid. Meski struktur masyarakatnya lebih heterogen dengan terdiri dari 1128 suku bangsa, lima agama resmi, sampai perbedaan bahasa dan dialek yang mencapai 583 banyaknya, harmonisasi masyarakat di Nusantara justru tetap terjaga dengan sangat aman, damai, dan tenteram.

Mungkin Ini Penyebab Hidup Tidak Bahagia

Pernah saya berada dalam sebuah kondisi yang mungkin banyak pula dari kita pernah mengalaminya. Kondisi dimana hari-hari terasa berat, kepala berat, mata berat, bibir berat untuk tersenyum, bahkan napas pun berat. Rasanya hidup terasa sulit, penuh tekanan, ada saja masalah yang tidak bisa terlihat titik terang penyelesaiannya.

Sampai suatu hari saat sedang berselancar di internet, saya menemukan kalimat begini dari seorang tokoh barat (lupa namanya siapa),

“Kunci kebahagiaan adalah menyadari bahwa Anda tidak pernah benar-benar bisa mengontrol apapun”

Hening…. Kok rasanya benar sekali?

Apa yang terbersit dalam benak saya ketika membaca kalimat tersebut adalah konsep berserah diri. Sebuah konsep yang menyerahkan semua daya kendali dan kontrol persoalan manusia kepada pihak yang paling mampu mengendalikan semuanya, paling berkuasa, dan paling handal. Menyerahkan semuanya kepada Allah.

Di momen tersebut saya sudah mulai sedikit bisa tersenyum dan merasakan sebuah kelegaan.

Alhamdulillah, kelegaan yang sejuk dan menenangkan semakin muncul ketika saya menemukan ini, hal menakjubkan dari Islam yang tepat terproyeksi dari kalimat yang saya temukan sebelumnya,

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang mengucapkan : لاَ حَوْلَ وَلاَ قُـوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ 
(Laa Haula wa Laa Quwwata illa Billaah – Tiada daya dan upaya kecuali pertolongan Allah) maka hal itu sebagai penawar baginya dari sembilan puluh sembilan penyakit dan yang termudah adalah rasa bimbang”

Disebutkan bahwa, barangsiapa yang yang mengatakan Laa Haula wa Laa Quwwata illa Billaah maka akan lenyap dari dirinya tujuh puluh pintu petaka, yang paling rendah adalah bencana kemiskinan. Tak hanya itu, dari Abi Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata kepadaku: “Maukah aku tunjukkan kepadamu salah satu bacaan yang menjadi simpanan kekayaan di dalam syurga?“, Maka aku menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah“. Maka beliau menjawab: “Ucapkanlah” La Haula wa La Quwwata illa Billaah.”

Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan: Kalimat La Haula wa La Quwwata illa Billaah mempunyai pengaruh yang sangat menakjubkan saat menanggung beban pekerjaan yang sulit dan keras, atau saat menghadap kepada raja dan orang yang ditakutkan, selain pengaruhnya yang efektif untuk menolak kemiskinan.

Bagi saya, mengucapkan kalimat “La Haula wa La Quwwata illa Billaah” secara berulang-ulang seperti mensugestikan diri bahwa hanya Allah lah sebaik-baik Penolong, dimana segala daya dan upaya berasal. Teringat bagaimana Allah berfirman, “Aku bagaimana prasangka hambaKu.” Melalui kalimat inilah kita bisa membangun prasangka positif kepada Allah, yang secara otomatis akan membangun hubungan manis antara kita dengan Allah, sehingga akan terus menghadirkan syukur dan ketenangan dalam hidup.

Sungguh menakjubkan, tak aneh jika kalimat ini dikatakan sebagai simpanan kekayaan didalam syurga. Pengaruhnya dalam menolak musibah maupun menghilangkan perasaan gelisah hanyalah bonus kecil. Hal terbesar dalam kalimat ini bagi saya adalah mempercayakan seutuhnya kepada Allah sebagai satu-satunya Penolong dan Pengatur. Lepas semua beban, lepas semua pikiran berat karena sibuk mengatur hari-hari atau suatu perihal, lepas semua kekhawatiran akan perjalanan hidup yang tidak bisa diprediksi, lepas semuanya. Percaya padaNya tanpa syarat.

Berangkat dari sini, saya menemukan tiga solusi mutlak atas setiap permasalahan hidup. Adalah Allah, waktu, dan sabar.

Jadi, jika diantara kita merasakan hidup yang tidak bahagia, mari kita tengok kedalam diri.
Adakah diri kita terlalu sombong merasa semuanya bisa diatasi dengan tindakan sendiri sehingga lupa kehendakNya?
Adakah diri kita terlalu fokus pada urusan teknis yang bisa dikontrol oleh kita sehingga lupa bahwa ada tanganNya yang bisa bertindak kapanpun hanya dengan “Kun Fayakun”?
Adakah diri kita terlalu berambisi untuk meraih sesuatu sehingga menghalalkan segala cara hingga lupa pada penaNya?
Adakah diri kita takut pada hal-hal selain diriNya?
Adakah kita sudah benar-benar mengimani Keesaan-Nya?
Adakah Ia dalam hati kita?

Karena jika hati sudah mantap bergantung pada daya dan upaya-Nya saja, hidup di dunia ini akan jelas terasa fana, terasa akan singkat adanya. Dengan begitu, tindak-tanduk kita hanya untuk merayu-Nya, agar kasih-Nya mengalir terus, ada rasa cinta, ada rasa tidak ingin ditinggalkan oleh-Nya, ada rasa semangat mengarungi hidup di dunia dan semangat bersabar dengan ujian di dunia semata untuk segera bertemu denganNya dalam keindahan.

Insha Allah.

Surabaya, 3 Januari 2015

Jadi Pemuda? Tetap Persiapkanlah Kematian

Assalamualaikum wr wb. Teman-teman Muslim dam Muslimah dimanapun kalian berada, saudara-saudariku, bagaimana rasanya membayangkan sepetak tanah yang akan menjadi singgahsana terakhir kita? Kalau dibayangkan, rasanya langsung sunyi, di keramaian pun merasa sendiri, was-was, merasa rendah diri, sudah sesiap apa kita? Lalu akan diapakan semua pencapaian dan segala usaha keras duniawi yang selama ini kita kejar, akan diapakan? Bukan mustahil dalam perjalanannya kita melakukan banyak dosa, memang Allah Maha Pengampun, tapi sejauh apa kita layak diampuni?

Sebuah laporan global menyebutkan, kematian dini cenderung lebih banyak terjadi di kalangan remaja dan dewasa muda dibandingkan anak-anak. Riset yang dipublikasikan jurnal kesehatan The Lancet, kasus kematian pada usia remaja tampak lebih menonjol. Faktor-faktor seperti kekerasan, bunuh diri, dan kecelakaan lalu lintas diyakini sebagai penyebab utama. Untuk yang sedang berkuliah, teman-teman mahasiswaku, ajal bisa saja menjemput kita saat kita sedang berada di kelas, atau baru saja beranjak pulang dari forum kemahasiswaan, atau mungkin saat baru saja pulang bersenang-senang dari tempat foya-foya.

Saya ingin mengajak teman-teman pemuda Islam khususnya untuk turut mencemaskan kematian dan segera mempersiapkannya meskipun masih muda karena kematian tidak mengenal usia. Setidaknya jika usia kita dipanjangkan, bukankah indah jika akhir hidup kita khusnul khotimah?

Berikut poin-poin rangkuman yang kiranya bisa menjadi persiapan diri kita dalam menanti kematian:

  1. Membiasakan budaya tafakur (merenung)

Manusia adalah mahluk yang berpikir. Apalah arti buku-buku tebal mengenai fenomena fisika, biologi, material, dll kalau tidak mampu mengantarkan kita menjadi mahluk yang merenung, meresapi, dan menyimpulkan. Kapan kita mau sedikit menarik diri dari sekolompok kawan-kawan yang biasa mengajak kita tertawa menikmati hal-hal duniawi? Meluangkan waktu sendiri, benar-benar hanya sendiri antara diri dan Allah, menanyakan eksistensi diri (baca QS Al-Baqarah:30), menanyakan tugas sebagai manusia di muka bumi, menanyakan kenapa kita harus menjalani apa yang kita jalani hari ini, merencanakan segala bentuk usaha diiringi doa untuk meraih ridhoNya dan merayu cintaNya terhadap apa yang Dia tuliskan di lauhul mahfuz.

  1. Senantiasa berpikir jernih

Berpikir jernih dalam hal ini adalah kembali pada apa yang benar dan salah menurut agama. Tepis segala macam paradigma konyol yang dibangun oleh lingkungan masyarakat, kampus, maupun himpunan kemahasiswaan. Sekiranya ada sesuatu yang justru lebih banyak mendatangkan kedzaliman, kemudharatan, dan sedikit manfaat, kenapa harus bertahan didalamnya? Konsekuensi sosial bukan tidak mungkin menimpa kita saat kita berusaha sedikit memberi jarak pada aktivitas yang banyak mudharatnya, apa lagi jika lingkungan teman-teman/kampus cenderung sosialis. “Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

  1. Meluruskan niat dalam segala tindakan

Segala bentuk amalan ditentukan oleh niat. Sebagai manusia yang memiliki naluri untuk bertahan hidup, tak jarang kita melakukan sesuatu atas dasar kepentingan yang amat duniawi dan sarat akan kesenangan sesaat. Andai segala kegiatan kita niatkan atas dasar ibadah dan dalam upaya meraih ridhoNya, bukankah tentram hati ini? Nothing to lose. Rasa ikhlas dan tulus bisa menghampiri dengan mudahnya jika segalanya karena Allah, bahkan tanpa menghitung-hitung pahala ibadah pun, segalanya bisa dilakukan secara sukarela demi merayu cinta dan kasihNya. Baiknya kita kembali bertafakur dan bertafakur setiap kali ada niatan yang hampir menyimpang.

  1. Mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya

Melakukan poin keempat ini tidak sesederhana mengutarakannya. Perintah dan laranganNya acap kali menemui gesekan dengan realita hidup yang dihadapi dan pergolakan hati manusia yang penuh dengan ambisi. Ketika gesekan itu muncul, gaungkan lah selalu dalam hati ini bahwa Allah tidak tidur, Allah melihat kita, Allah mengasihi kita yang mengingatnya dan mencintai kita selalu. Allah tidak memberi beban pada kita diluar kemampuan kita. Dalam musibah sekalipun, selalu ada nilai pelajaran yang bisa dipetik. Dan ingatlah selalu bahwa dunia ini fana, akhirat itu kekal. Sekali lagi, dunia ini fana, akhirat itu kekal.

  1. Jangan memelihara subjektifitas

Setiap kali hati dihinggapi dengki, benci, iri, dendam, dan penyakit hati lainnya, ingatlah bahwa kita tidak punya kontrol atas manusia lain selain kontrol terhadap diri sendiri. Ingatlah bahwa sederetan perasaan tersebut hanya akan mengurangi waktu produktif kita dalam berkegiatan maupun beribadah. Ingatlah pula bahwa hanya Allah yang berhak menghakimi hambaNya dan punya kontrol penuh terhadap segala ketetapan. Senantiasa menjadi manusia yang positif dan melepas segala yang negatif akan menjadi awal yang baik dalam melakukan aktivitas apapun.

Berakhiran baik berarti menyelesaikan tugas di dunia dalam keadaan menjadi muslim yang baik. Pada dasarnya kebaikan seorang manusia bisa dibangun pada dua lini, yaitu lini vertikal dan horizontal. Secara vertikal adalah habluminallah, me-maintain hubungan dengan Allah. Memenuhi perintahNya, senantiasa menyenangkanNya (menambah amalan-amalan sunnah, seperti shalat rawatib, tahajud, dhuha, puasa daud, dan tidak menunda-nunda sholat), juga senantiasa berdzikir dan bersyukur. Serta menghindari perkara-perkara yang dapat mengundang murkaNya (bersikap angkuh, menyekutukanNya, melanggar larangan-larangannya). Secara horizontal adalah habluminannas, khusus hubungan antar sesama manusia. Sebagai sesama manusia untuk tidak saling menyakiti, menjaga lisan dan segala bentuk hawa nafsu yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Senantiasa berada dalam koridor-koridor aturanNya ketika berhubungan dengan manusia lain, karena sesungguhnya Allah telah mengatur hajat hidup manusia sampai pada hal-hal yang paling kecil.

Hidup dan mati adalah pasti. (Dialah) yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS Al-Mulk: 2).

Semoga bisa mengingatkan saudara-saudari muslimku dimanapun kalian berada. Setiap kali share, setiap itu pula ada muslim yang teringatkan untuk menyegerakan kebaikan dan meninggalkan keburukan sebagai upaya menyiapkan bekal di kehidupan yang kekal.

Reminder

Bersama Departemen Enviro PT Newmont Nusa Tenggara setelah mengambil sampel tailing hasil tambang di dekat palung laut
Bersama Departemen Enviro PT Newmont Nusa Tenggara setelah mengambil sampel tailing hasil tambang di dekat palung laut

Akhirnya ada yang bilang saya cantik, paling cantik malah, khusus di foto ini saja. Bersama rekan-rekan peserta Bootcamp dan profesional dari Departemen Enviro PT Newmont Nusa Tenggara, Januari 2015. Foto ini mengingatkan saya (kembali) kalau saya anak teknik. Seberapapun kecintaan saya terhadap dunia jurnalistik, sosial, budaya, dll, ini menyadarkan saya tentunya pengetahuan di bidang tersebut tidak dapat membantu saya menjawab soal ujian fenomena transport ataupun mekanika fluida. Setidaknya untuk saat ini, area yang sedang urgent untuk diperjuangkan adalah semua tentang teknik material dan metalurgi, hal terdekat yang bisa mengantarkan saya untuk  menjadi manusia yang memiliki skill nyata. Tenang, bukan berarti hobi diluar bidang teknik ditinggalkan, hanya saja lebih terkontrol di tahun ketiga nanti. Rasanya sudah waktunya membuat sesuatu, karya, menyelami lebih dalam tentang keprofesian sendiri. Alhamdulillah Ramadhan kali ini dapat ilham, sudah tidak galau lagi soal track pasca kuliah. Yah, manusia dinamis, setidaknya keputusan saat ini membantu prioritas kedepan. Karena masalah bangsa ini tidak hanya pada persoalan politis saja, tapi masalah-masalah teknis juga. Orang-orang dengan latar belakang teknik berwawasan politik ditambah empati dan kepekaan sosial baik dengan spiritualitas+intelektualitas yang kuat, dibutuhkan banyak di negeri ini bukan?

Kodrat Perempuan sebagai Kekuatan Dahsyat dalam Membangun Peradaban

Dalam catatan sejarah manusia, perempuan dikenal sebagai mahluk yang begitu istimewa. Sedemikian istimewa hingga sejarah pun merekam berbagai pergerakan perempuan beserta polemiknya dari bermacam dimensi budaya dan peradaban manusia di dunia. Tak hanya persoalan budaya, agama sebagai variabel paling mendasar pun turut mengatur berbagai aspek khusus untuk mahluk yang satu ini. Kehadirannya pun bukan tanpa efek, jelas menimbulkan berbagai penafsiran dan persepsi mengenai bentuk ideal seorang perempuan dan pergerakan perempuan. Setidaknya, menentukan idealitas seorang perempuan harus melibatkan perspektif agama, budaya, sosial, ilmu pengetahuan, dan relevansi zaman sehingga dalam pergerakannya menghasilkan luaran yang dianggap positif untuk menunjang laju peradaban kehidupan umat manusia.

Oleh karena itu, mari kita menengok sejarah. Pada sekitar tahun 400 SM, salah seorang filsuf terkenal, Aristoteles, berpendapat tentang kedudukan perempuan. Idenya yang cukup reaksioner jika dilihat dari kacamata zaman sekarang adalah mengenai kepercayaannya soal martabat perempuan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki karena dianggapnya segaris dengan hukum alam. Tak beda jauh dengan Plato, ia bahkan berpendapat adanya perbedaan kehormatan antara laki-laki dan perempuan yang cukup signifikan. Ia memandang bahwa kehormatan laki-laki terletak pada kemampuannya memerintah, sedangkan kehormatan perempuan terletak pada kemampuannya menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang rendah dan hina.1

Kesimpulan dari hasil catatan sejarah, didapati berbagai kondisi berbeda mengenai perempuan pada setiap dimensi budaya semasa zaman pra Islam. Namun ada satu hal yang identik, yaitu porsi peran perempuan yang berbatas dan takaran harga dirinya yang selalu lebih rendah dibanding laki-laki. Keadaan ini menimbulkan banyak tanya mengenai persepsi terhadap bentuk peran ideal perempuan dalam sebuah peradaban. Tak hanya itu, ruang gerak perempuan pun acap kali menemui konflik karena adanya ketidaksesuaian prinsip seorang perempuan dengan kelaziman budaya mengenai perempuan yang dianut oleh suatu lingkungan masyarakat. Hingga akhirnya tak salah jika kondisi ini mendorong sebuah gerakan feminis yang mulai gencar pada sekitaran tahun 1960. Tuntutan kesetaraan dari kaum feminis pun turut mempengaruhi dalam menentukan idealitas perempuan serta pergerakannya. Lagi-lagi banyak didapati variasi bentuk kesetaraan yang disuarakan, sehingga area pergerakan perempuan mengalami perluasan yang tidak jarang menerobos nilai-nilai agama maupun norma sosial.

Sebelum melangkah lebih jauh kepada persoalan peran sesuai gender, perlu dikaji perbedaan kapabilitas antara perempuan dan laki-laki. Ditinjau dari segi fisik yang kasat mata, perempuan dikarunai kemampuan untuk mengandung dan melahirkan, sedang lelaki tidak. Namun rupanya, perbedaan antara kedua gender berbeda ini tidak sesederhana itu. Menurut penelitian, secara karakter perempuan dinilai lebih emosional dibanding laki-laki. Hal ini dikarenakan sistem limbik yang dimiliki perempuan lebih berkembang, sehingga aspek prilaku, emosi, dan memori perempuan cenderung lebih labil. Ditambah lagi dengan fase khusus setiap bulannya yang dapat mempengaruhi aspek-aspek tersebut, perempuan menjadi sangat labil dalam hal emosi. Ilmu pengetahuan modern juga telah menemukan bahwa perempuan cenderung kurang akal/pikirannya jika dibandingkan dengan laki-laki. Penilaian ini didasari oleh fakta yang menyatakan bahwa otak perempuan lebih kecil dari otak laki-laki hingga 10%. Tak hanya dari segi ukuran, ditemukan pula bahwa dari struktur pun didapati banyak perbedaan mencolok antara otak laki-laki dan perempuan yang berdampak terhadap perbedaan cara berpikir, perilaku, reaksi, dan berpersepsi terhadap sesuatu. Otak perempuan pun diketahui lebih rentan mengalami penurunan sel-sel otak yang dapat menyebabkan menurunnya kemampuan mengingat pada kaum perempuan.2 Rupanya hal ini pun diamini dalam sebuah keterangan hadits, dikatakan oleh Rasulullah, “Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya paling bisa mengalahkan akal lelaku yang kokoh daripada salah seorang kalian (kaum wanita).”3 Situasi ini lantas menghadirkan pertanyaan apakah perbedaan yang telah ditakdirkan Allah berorientasi pada sebuah peran khusus atau tidak sama sekali.

Jauh sebelum hasil penelitian sains dipublikasikan, Islam sudah membagi peran antara laki-laki dan perempuan. Islam menawarkan aturan-aturan bagi perempuan yang dimaksudkan untuk memuliakan mahluk indah ini, bukan sebaliknya. Hal ini terlihat nyata jika dibandingkan dengan status perempuan di masa pra-islam. Meski demikian, hingga kini Islam justru masih dikatakan sebagai agama yang tidak memberikan Hak Asasi Perempuan (HAP). Salah satu hal yang mendasari penilaian tersebut adalah penafsiran dari suatu ayat Al-qur’an yang menyatakan bahwa hanya laki-laki saja yang dikehendaki untuk memimpin, firman tersebut berbunyi, ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin, pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkakan sebagian dari harta mereka.4 Tak hanya itu, dalam hal hak waris, Islam mengatur porsi waris perempuan adalah setengah dari bagian laki-laki.5 Dalam hal persaksian, kesaksian perempuan pun dianggap separuh dari persaksian laki-laki.6 Tak ayal, berbagai polemik pun muncul dalam mempersoalkan HAP ini. Hal yang perlu digarisbawahi sebagai acuan peran ideal perempuan adalah pertanyaan, apakah perempuan dengan kemampuan dan akal yang terdesain sedemikian rupa dimaksudkan untuk suatu peran khusus atau tidak? Apakah Islam dengan sekonyong-konyongnya membagi peran dan menghukumi perempuan dengan aturan-aturan khusus tanpa sebuah alasan jelas?

Setidaknya setiap zaman memiliki ceritanya masing-masing. Era tahun 60-an sudah berlalu, demikian pula dengan sejarah pergerakan kaum feminis pada masanya. Kini kita berada di zaman yang kian dinamis dalam hal sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Kondisi ini pun akhirnya menyuguhkan opsi lebih banyak bagi perempuan dalam mengambil peran. Namun semenjak manusia terus mendambakan sebuah kehidupan yang damai, ritme hidup sejahtera, dan masyarakat yang madani, tidak ada salahnya jika kita mengkaji ulang pembagian peran per gender ini. Telah banyak berbagai upaya struktural maupun kultural yang digalangkan untuk mencapai peradaban sejahtera. Kita perlu menengok aspek kewanitaan sebagai salah satu opsi atau justru poin utama dalam mencapai kehidupan yang didambakan semua orang tersebut.

Pergerakan tidak selalu harus diawali dengan pemikiran-pemikiran kompleks, maka dari itu mari kita berpikir sederhana. Katakanlah suatu peradaban terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Secara jelas, bermasyarakat adalah kegiatan yang melibatkan interaksi antarkelompok, dimana kelompok-kelompok ini adalah keluarga-kerluaga. Suatu keluarga memuat beberapa individu. Atas dasar ini, disebutlah individu sebagai komponen terkecil dari masyarakat. Ketika masyarakat yang madani menjadi syarat pasti menuju peradaban sejahtera, maka kualitas individu menjadi variabel pendukung yang paling nyata untuk menciptakan nilai-nilai luhur di masyarakat. Membangun individu-individu berkualitas dari segi intelektual dan moral haruslah melalui sebuah pendidikan yang tersistem dengan baik. Keluarga menjadi wadah terdekat dan paling strategis untuk membangun bangsa yang sejahtera dengan masyarakat yang madani. Pendidikan dalam keluarga dapat melahirkan individu-individu yang beradab, karena ketika kualitas seorang individu baik, berbagai tantangan buruk yang menghampiri suatu lapisan masyarakat otomatis akan mudah ditepis.

Perempuan terhukum secara sosial maupun agama, rata-rata untuk berada di rumah dan mendidik anak-anak. Secara kodrat, perempuan berkemampuan untuk mengandung, setidaknya hal ini menjadi alasan lebih bagi perempuan untuk memiliki intuisi yang lebih kentara terhadap anak yang dilahirkannya dibandingkan dengan laki-laki. Mencoba menilai persoalan kodrat ini dengan rendah hati, tidakkah perempuan ini sebetulnya sudah memiliki wadah pergerakannya sendiri? Mendidik tidak pernah menjadi perkara yang mudah, diperlukan kemampuan komunikasi yang baik dan telaten. Menurut hasil studi Magnetic Resonance Imaging (MRI), diketahui perempuan cenderung memiliki kecerdasan linguistik yang lebih baik daripada laki-laki. Hal ini disebabkan karena otak perempuan memiliki area otak caudate atau bagian yang mengatur bahasa lebih luas dibanding otak laki-laki.7 Artinya, secara fitrah perempuan mempunyai kapabilitas lebih dalam hal verbal dan berkomunikasi, tentu kemampuan ini sangat menunjang peran seorang pendidik anak dalam mencetak individu berkualitas. Pemimpin-pemimpin bijak hanya akan lahir dari ibu yang cerdas dan istri yang suportif. Jelas disini, bahwa rupanya wadah pergerakan perempuan ini sudah eksis bahkan sangat strategis. Dengan karakteristik khusus yang hanya dimiliki oleh perempuan, ranah kepemimpinan khusus perempuan ini sudah sangat nyata dan berdampak besar hasilnya.

Idealitas peran perempuan yang ruang lingkupnya cenderung di dalam keluarga bukan berarti membatasi ruang gerak perempuan. Pergerakan perempuan dengan peran sedemikian vital justru merupakan senapan jitu yang membutuhkan banyak amunisi. Dalam menambah amunisi, perempuan perlu memperkaya khazanah pemikiran mereka dengan banyak membaca dan mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Maka tidak benar jika perempuan terlahir untuk berada di rumah tanpa harus bersekolah. Tidak dapat disalahkan juga jika seorang perempuan ingin mengisi suatu peran pekerjaan di sektor manapun, selama tidak melalaikan tugas dan tanggung jawab idealnya secara gender, dan secara norma agama. Di sisi lain, pendekatan ketuhanan bisa menjadi salah satu penguatan peran seorang perempuan, bahkan ini bisa menjadi hal yang paling mendasar. Mengimani segala perintah Allah adalah mutlak adanya, karena Islam justru telah mengatur segala hal menyangkut hajat hidup manusia. Sebab perempuan pun memiliki potensi spiritual yang sama dengan laki-laki dalam pencapaian keimanan dan ketaqwaan. Namun harus ditekankan, dalam proses menambah amunisi inilah perempuan perlu bijak dalam melaluinya agar tidak membuyarkan peran ideal sebagai mahluk yang mengisi peran strategis ini. Di abad 21 ini, semakin banyaknya opsi hidup membuat semakin banyak celah yang dapat dimasuki oleh sisa-sisa pergerakan kaum feminis terdahulu sehingga justru dapat memungkinkan menyalahi kodrat sebagai perempuan.

Sebagai pencetak generasi yang berbudi luhur, perempuan perlu melatih kecerdasan interpersonalnya melalui praktik interaksi sosial. Perempuan diharapkan cukup berpengetahuan untuk dapat taat terhadap etika dan nilai-nilai universal. Menjaga nilai-nilai dasar kemanusiaan dan memupuk empati di lingkungan masyarakat. Mengingat sedemikian besar pengaruh seorang perempuan dalam sebuah lingkungan masyarakat, agama telah mengatur berbagai batasan-batasan fisik maupun tindakan perempuan. Maka dalam berperilaku, perempuan perlu menjaga etika di lingkungan sosial, mulai dari penampilan, pola bicara, hingga perilakunya. Seorang perempuan yang dikaruniai tubuh indah selayaknya menutup dan menjaga keindahan tersebut agar tidak mengundang gairah dari laki-laki yang bukan mahramnya, sefleksibel apapun situasi budaya tempat seorang perempuan muslim berada. Sebagai sosok yang menjadi teladan bagi anak-anak, baiknya seorang perempuan berperilaku dengan penuh kasih kelembutan, penuh pengertian, dapat mengontrol emosi, dan bersifat akomodatif. Menjaga integritas melalui pola bicara menjadi salah satu hal yang tidak boleh terlewatkan, mengatur nada bicara dalam takaran santun, lugas, dan tidak bernada manja. Akumulasi dari segala kelembutan sikap seorang perempuan adalah sebuah kesabaran, nilai karakter yang amat penting eksistensinya dalam diri seorang perempuan sebagai pendidik generasi.

Banyaknya aturan agama, norma sosial, dan persepsi soal idealitas perempuan sebaiknya tidak menjadi hambatan bagi perempuan untuk bergerak dalam wadah yang tepat. Perempuan perlu menyadari bahwa kodrat bukanlah belenggu, namun justru sebagai sebuah kesadaran penuh untuk membangun kekuatan dahsyat. Dengan tetap berada dalam bingkai kodrat itu sendiri, pergerakan perempuan bisa mencapai hasil yang menakjubkan sampai ke skala peradaban.

Referensi:

[1] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Jakarta: Yogyakarta, 1999), Cet.Ke-22, h.81

[2] http://www.sciencedaily.com/releases/2012/09/120905110931.htm

[3] Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari No. 1462 dan Muslim No.79

[4] QS An Nisa’: 34

[5] QS Al-Anfal ayat 75 dan hadits dari Aisyah riwayat Tirmidzi: الخال وارث من لا وارث له. Dan hadits riwayat Imam Malik dalam Muwatta’: كان عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول: “عجباً للعمة تورث ولا ترث

[6] QS Al-Baqarah : 282

[7] Gardner, Howard. 2003. Multi Intelligenc Kecerdasan Majemuk. Teori dalam Praktek. Batam Center. Inter Askara

Ilmi Mayuni Bumi, dalam artikel bertemakan Manner in Move: Idealitas Perempuan dan Pergerakannya.

Bandung, 2015.

Kita cuma perlu belajar untuk menaruh segala sesuatunya pada porsi yang proposional. Mengontrol sisi individualis,  sosialis, dan orientasi oportunis.

Kita cuma perlu jujur pada diri sendiri dan saling jujur dengan yang lain tanpa saling tunjuk. Tanpa saling mendikte. Tanpa saling sok tahu.

Kita cuma perlu sedikit lebih berani menerima resiko, menerima rasa kecut sedikit, karena siapa manusia di dunia ini yang bisa menyenangkan hati semua orang?

Kita terlalu fokus pada hal yang tidak merubah apa-apa. Berapa kali Tuhan mengingatkan kita soal waktu? Waktu, waktu, waktu.

Ilmi Mayuni Bumi, 2015

BRIDGING UNDERSTANDING A Presentation by YES Alumni in Bandung, Indonesia

almost 3 years ago! here are some stories about the exchange year programs (YES, AFS, and Rotary)!

Indonesia YES Alumni Association

The Seven facilitators/panelists of the presentation: (1) Lidya Sophiani – Hosted in Round Hill, Virginia, USA (YES Program Alumni 2011-2012); (2) Rininta Muthia Syahrir – Hosted in Whitefish, Montana, USA (YES Program Alumni 2011-2012); (3) Vitara Caprinita – Hosted in Little Rock, Arkansas, USA (YES Program Alumni 2011-2012); (4) Nabila Ratna Kasyalia – Hosted in Wausau, Wisconsin, USA (YES Program Alumni 2011-2012); Ibrahim Azizi – Hosted in South Bend, Indiana, USA (YES Program Alumni 2011-2012) (5); Ilmi Mayuni Bumi – Hosted in Zurich, Switzerland (AFS Program to Europe Alumni 2011-2012) (6); Sri Izzati – Hosted in Waupaca, Wisconsin, USA (Rotary Program Alumni 2011-2012) (7)

On September, 22nd 2012, YES Program Returnees of 2011-2012 from Bandung Chapter, held an event in MAN 1 Bandung (Madrasah Aliyah Negeri  – Islamic High School) to commemorate and to contribute for International Education Week which is the national project of Indonesian YES Alumni Returnees…

View original post 898 more words

warm, brown, smooth, tasty, and sticky