Dalam catatan sejarah manusia, perempuan dikenal sebagai mahluk yang begitu istimewa. Sedemikian istimewa hingga sejarah pun merekam berbagai pergerakan perempuan beserta polemiknya dari bermacam dimensi budaya dan peradaban manusia di dunia. Tak hanya persoalan budaya, agama sebagai variabel paling mendasar pun turut mengatur berbagai aspek khusus untuk mahluk yang satu ini. Kehadirannya pun bukan tanpa efek, jelas menimbulkan berbagai penafsiran dan persepsi mengenai bentuk ideal seorang perempuan dan pergerakan perempuan. Setidaknya, menentukan idealitas seorang perempuan harus melibatkan perspektif agama, budaya, sosial, ilmu pengetahuan, dan relevansi zaman sehingga dalam pergerakannya menghasilkan luaran yang dianggap positif untuk menunjang laju peradaban kehidupan umat manusia.
Oleh karena itu, mari kita menengok sejarah. Pada sekitar tahun 400 SM, salah seorang filsuf terkenal, Aristoteles, berpendapat tentang kedudukan perempuan. Idenya yang cukup reaksioner jika dilihat dari kacamata zaman sekarang adalah mengenai kepercayaannya soal martabat perempuan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki karena dianggapnya segaris dengan hukum alam. Tak beda jauh dengan Plato, ia bahkan berpendapat adanya perbedaan kehormatan antara laki-laki dan perempuan yang cukup signifikan. Ia memandang bahwa kehormatan laki-laki terletak pada kemampuannya memerintah, sedangkan kehormatan perempuan terletak pada kemampuannya menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang rendah dan hina.1
Kesimpulan dari hasil catatan sejarah, didapati berbagai kondisi berbeda mengenai perempuan pada setiap dimensi budaya semasa zaman pra Islam. Namun ada satu hal yang identik, yaitu porsi peran perempuan yang berbatas dan takaran harga dirinya yang selalu lebih rendah dibanding laki-laki. Keadaan ini menimbulkan banyak tanya mengenai persepsi terhadap bentuk peran ideal perempuan dalam sebuah peradaban. Tak hanya itu, ruang gerak perempuan pun acap kali menemui konflik karena adanya ketidaksesuaian prinsip seorang perempuan dengan kelaziman budaya mengenai perempuan yang dianut oleh suatu lingkungan masyarakat. Hingga akhirnya tak salah jika kondisi ini mendorong sebuah gerakan feminis yang mulai gencar pada sekitaran tahun 1960. Tuntutan kesetaraan dari kaum feminis pun turut mempengaruhi dalam menentukan idealitas perempuan serta pergerakannya. Lagi-lagi banyak didapati variasi bentuk kesetaraan yang disuarakan, sehingga area pergerakan perempuan mengalami perluasan yang tidak jarang menerobos nilai-nilai agama maupun norma sosial.
Sebelum melangkah lebih jauh kepada persoalan peran sesuai gender, perlu dikaji perbedaan kapabilitas antara perempuan dan laki-laki. Ditinjau dari segi fisik yang kasat mata, perempuan dikarunai kemampuan untuk mengandung dan melahirkan, sedang lelaki tidak. Namun rupanya, perbedaan antara kedua gender berbeda ini tidak sesederhana itu. Menurut penelitian, secara karakter perempuan dinilai lebih emosional dibanding laki-laki. Hal ini dikarenakan sistem limbik yang dimiliki perempuan lebih berkembang, sehingga aspek prilaku, emosi, dan memori perempuan cenderung lebih labil. Ditambah lagi dengan fase khusus setiap bulannya yang dapat mempengaruhi aspek-aspek tersebut, perempuan menjadi sangat labil dalam hal emosi. Ilmu pengetahuan modern juga telah menemukan bahwa perempuan cenderung kurang akal/pikirannya jika dibandingkan dengan laki-laki. Penilaian ini didasari oleh fakta yang menyatakan bahwa otak perempuan lebih kecil dari otak laki-laki hingga 10%. Tak hanya dari segi ukuran, ditemukan pula bahwa dari struktur pun didapati banyak perbedaan mencolok antara otak laki-laki dan perempuan yang berdampak terhadap perbedaan cara berpikir, perilaku, reaksi, dan berpersepsi terhadap sesuatu. Otak perempuan pun diketahui lebih rentan mengalami penurunan sel-sel otak yang dapat menyebabkan menurunnya kemampuan mengingat pada kaum perempuan.2 Rupanya hal ini pun diamini dalam sebuah keterangan hadits, dikatakan oleh Rasulullah, “Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya paling bisa mengalahkan akal lelaku yang kokoh daripada salah seorang kalian (kaum wanita).”3 Situasi ini lantas menghadirkan pertanyaan apakah perbedaan yang telah ditakdirkan Allah berorientasi pada sebuah peran khusus atau tidak sama sekali.
Jauh sebelum hasil penelitian sains dipublikasikan, Islam sudah membagi peran antara laki-laki dan perempuan. Islam menawarkan aturan-aturan bagi perempuan yang dimaksudkan untuk memuliakan mahluk indah ini, bukan sebaliknya. Hal ini terlihat nyata jika dibandingkan dengan status perempuan di masa pra-islam. Meski demikian, hingga kini Islam justru masih dikatakan sebagai agama yang tidak memberikan Hak Asasi Perempuan (HAP). Salah satu hal yang mendasari penilaian tersebut adalah penafsiran dari suatu ayat Al-qur’an yang menyatakan bahwa hanya laki-laki saja yang dikehendaki untuk memimpin, firman tersebut berbunyi, ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin, pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkakan sebagian dari harta mereka.”4 Tak hanya itu, dalam hal hak waris, Islam mengatur porsi waris perempuan adalah setengah dari bagian laki-laki.5 Dalam hal persaksian, kesaksian perempuan pun dianggap separuh dari persaksian laki-laki.6 Tak ayal, berbagai polemik pun muncul dalam mempersoalkan HAP ini. Hal yang perlu digarisbawahi sebagai acuan peran ideal perempuan adalah pertanyaan, apakah perempuan dengan kemampuan dan akal yang terdesain sedemikian rupa dimaksudkan untuk suatu peran khusus atau tidak? Apakah Islam dengan sekonyong-konyongnya membagi peran dan menghukumi perempuan dengan aturan-aturan khusus tanpa sebuah alasan jelas?
Setidaknya setiap zaman memiliki ceritanya masing-masing. Era tahun 60-an sudah berlalu, demikian pula dengan sejarah pergerakan kaum feminis pada masanya. Kini kita berada di zaman yang kian dinamis dalam hal sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Kondisi ini pun akhirnya menyuguhkan opsi lebih banyak bagi perempuan dalam mengambil peran. Namun semenjak manusia terus mendambakan sebuah kehidupan yang damai, ritme hidup sejahtera, dan masyarakat yang madani, tidak ada salahnya jika kita mengkaji ulang pembagian peran per gender ini. Telah banyak berbagai upaya struktural maupun kultural yang digalangkan untuk mencapai peradaban sejahtera. Kita perlu menengok aspek kewanitaan sebagai salah satu opsi atau justru poin utama dalam mencapai kehidupan yang didambakan semua orang tersebut.
Pergerakan tidak selalu harus diawali dengan pemikiran-pemikiran kompleks, maka dari itu mari kita berpikir sederhana. Katakanlah suatu peradaban terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Secara jelas, bermasyarakat adalah kegiatan yang melibatkan interaksi antarkelompok, dimana kelompok-kelompok ini adalah keluarga-kerluaga. Suatu keluarga memuat beberapa individu. Atas dasar ini, disebutlah individu sebagai komponen terkecil dari masyarakat. Ketika masyarakat yang madani menjadi syarat pasti menuju peradaban sejahtera, maka kualitas individu menjadi variabel pendukung yang paling nyata untuk menciptakan nilai-nilai luhur di masyarakat. Membangun individu-individu berkualitas dari segi intelektual dan moral haruslah melalui sebuah pendidikan yang tersistem dengan baik. Keluarga menjadi wadah terdekat dan paling strategis untuk membangun bangsa yang sejahtera dengan masyarakat yang madani. Pendidikan dalam keluarga dapat melahirkan individu-individu yang beradab, karena ketika kualitas seorang individu baik, berbagai tantangan buruk yang menghampiri suatu lapisan masyarakat otomatis akan mudah ditepis.
Perempuan terhukum secara sosial maupun agama, rata-rata untuk berada di rumah dan mendidik anak-anak. Secara kodrat, perempuan berkemampuan untuk mengandung, setidaknya hal ini menjadi alasan lebih bagi perempuan untuk memiliki intuisi yang lebih kentara terhadap anak yang dilahirkannya dibandingkan dengan laki-laki. Mencoba menilai persoalan kodrat ini dengan rendah hati, tidakkah perempuan ini sebetulnya sudah memiliki wadah pergerakannya sendiri? Mendidik tidak pernah menjadi perkara yang mudah, diperlukan kemampuan komunikasi yang baik dan telaten. Menurut hasil studi Magnetic Resonance Imaging (MRI), diketahui perempuan cenderung memiliki kecerdasan linguistik yang lebih baik daripada laki-laki. Hal ini disebabkan karena otak perempuan memiliki area otak caudate atau bagian yang mengatur bahasa lebih luas dibanding otak laki-laki.7 Artinya, secara fitrah perempuan mempunyai kapabilitas lebih dalam hal verbal dan berkomunikasi, tentu kemampuan ini sangat menunjang peran seorang pendidik anak dalam mencetak individu berkualitas. Pemimpin-pemimpin bijak hanya akan lahir dari ibu yang cerdas dan istri yang suportif. Jelas disini, bahwa rupanya wadah pergerakan perempuan ini sudah eksis bahkan sangat strategis. Dengan karakteristik khusus yang hanya dimiliki oleh perempuan, ranah kepemimpinan khusus perempuan ini sudah sangat nyata dan berdampak besar hasilnya.
Idealitas peran perempuan yang ruang lingkupnya cenderung di dalam keluarga bukan berarti membatasi ruang gerak perempuan. Pergerakan perempuan dengan peran sedemikian vital justru merupakan senapan jitu yang membutuhkan banyak amunisi. Dalam menambah amunisi, perempuan perlu memperkaya khazanah pemikiran mereka dengan banyak membaca dan mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Maka tidak benar jika perempuan terlahir untuk berada di rumah tanpa harus bersekolah. Tidak dapat disalahkan juga jika seorang perempuan ingin mengisi suatu peran pekerjaan di sektor manapun, selama tidak melalaikan tugas dan tanggung jawab idealnya secara gender, dan secara norma agama. Di sisi lain, pendekatan ketuhanan bisa menjadi salah satu penguatan peran seorang perempuan, bahkan ini bisa menjadi hal yang paling mendasar. Mengimani segala perintah Allah adalah mutlak adanya, karena Islam justru telah mengatur segala hal menyangkut hajat hidup manusia. Sebab perempuan pun memiliki potensi spiritual yang sama dengan laki-laki dalam pencapaian keimanan dan ketaqwaan. Namun harus ditekankan, dalam proses menambah amunisi inilah perempuan perlu bijak dalam melaluinya agar tidak membuyarkan peran ideal sebagai mahluk yang mengisi peran strategis ini. Di abad 21 ini, semakin banyaknya opsi hidup membuat semakin banyak celah yang dapat dimasuki oleh sisa-sisa pergerakan kaum feminis terdahulu sehingga justru dapat memungkinkan menyalahi kodrat sebagai perempuan.
Sebagai pencetak generasi yang berbudi luhur, perempuan perlu melatih kecerdasan interpersonalnya melalui praktik interaksi sosial. Perempuan diharapkan cukup berpengetahuan untuk dapat taat terhadap etika dan nilai-nilai universal. Menjaga nilai-nilai dasar kemanusiaan dan memupuk empati di lingkungan masyarakat. Mengingat sedemikian besar pengaruh seorang perempuan dalam sebuah lingkungan masyarakat, agama telah mengatur berbagai batasan-batasan fisik maupun tindakan perempuan. Maka dalam berperilaku, perempuan perlu menjaga etika di lingkungan sosial, mulai dari penampilan, pola bicara, hingga perilakunya. Seorang perempuan yang dikaruniai tubuh indah selayaknya menutup dan menjaga keindahan tersebut agar tidak mengundang gairah dari laki-laki yang bukan mahramnya, sefleksibel apapun situasi budaya tempat seorang perempuan muslim berada. Sebagai sosok yang menjadi teladan bagi anak-anak, baiknya seorang perempuan berperilaku dengan penuh kasih kelembutan, penuh pengertian, dapat mengontrol emosi, dan bersifat akomodatif. Menjaga integritas melalui pola bicara menjadi salah satu hal yang tidak boleh terlewatkan, mengatur nada bicara dalam takaran santun, lugas, dan tidak bernada manja. Akumulasi dari segala kelembutan sikap seorang perempuan adalah sebuah kesabaran, nilai karakter yang amat penting eksistensinya dalam diri seorang perempuan sebagai pendidik generasi.
Banyaknya aturan agama, norma sosial, dan persepsi soal idealitas perempuan sebaiknya tidak menjadi hambatan bagi perempuan untuk bergerak dalam wadah yang tepat. Perempuan perlu menyadari bahwa kodrat bukanlah belenggu, namun justru sebagai sebuah kesadaran penuh untuk membangun kekuatan dahsyat. Dengan tetap berada dalam bingkai kodrat itu sendiri, pergerakan perempuan bisa mencapai hasil yang menakjubkan sampai ke skala peradaban.
Referensi:
[1] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Jakarta: Yogyakarta, 1999), Cet.Ke-22, h.81
[2] http://www.sciencedaily.com/releases/2012/09/120905110931.htm
[3] Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari No. 1462 dan Muslim No.79
[4] QS An Nisa’: 34
[5] QS Al-Anfal ayat 75 dan hadits dari Aisyah riwayat Tirmidzi: الخال وارث من لا وارث له. Dan hadits riwayat Imam Malik dalam Muwatta’: كان عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول: “عجباً للعمة تورث ولا ترث
[6] QS Al-Baqarah : 282
[7] Gardner, Howard. 2003. Multi Intelligenc Kecerdasan Majemuk. Teori dalam Praktek. Batam Center. Inter Askara
Ilmi Mayuni Bumi, dalam artikel bertemakan Manner in Move: Idealitas Perempuan dan Pergerakannya.
Bandung, 2015.